Halaman Depan

Kamis, 13 Januari 2011

Greater Jakarta dan Pasien yang Kegemukan

DPRD DKI menyetujui usulan Presiden SBY yang akan memperluas wilayah Ibukota Jakarta atau 'The Greater Jakarta'. Lebih murah dari pada memindahkan ibu kota dan kepadatan penduduk yang makin tinggi bisa tereduksi dengan penambahan wilayah "Sekarang ini dalam 1 Km2, dihuni 14 ribu jiwa. Ini berarti Jakarta sudah sangat padat, dengan penambahan wilayah kepadatan Jakarta bisa diurai nantinya," begitu pernyataan Wakil Ketua DPRD DKI Triwisaksana kepada wartawan di kantornya, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu. (Detiknews.com, 12 Januari 2011; 17.54 WIB).


Sementara itu di sebuah ruang periksa, seorang dokter sedang memarahi pasiennya.

Dokter: saya kan sudah bilang kalau Saudara harus memperhatikan pola hidup agar tidak kegemukan. Dengan resiko penyumbatan saluran darah ke jantung yang Saudara miliki, Saudara tidak dapat terus menerus kegemukan.

Pasien: Lho Dok. Saya kan cuma mengikuti saran dokter.

Dokter: Saran yang mana?

Pasien: Dulu ketika saya bertanya bagaimana saya tahu kalau saya kegemukan, dokter mengatakan bahwa jika saya merasa bahwa pakaian yang saya kenakan tidak nyaman karena kesempitan.

Dokter: Lalu apa hubungannya dengan kondisi kegemukan Saudara saat ini?

Pasien: Ketika saya merasa pakaian saya kesempitan, saya lalu membuat baju yang lebih besar sehingga sekarang saya tidak lagi merasa kesempitan. Jadi saya tidak kegemukan dong, Dok.


Bisa merasakan kemiripannya?

Rabu, 12 Januari 2011

Studi Sederhana tentang Kemacetan Kota Bandung

Kota Bandung makin hari makin penuh sesak. Selain ruang terbuka hijau yang berubah fungsi menjadi kawasan permukiman dan kawasan komersial, jalan raya juga rasanya selalu penuh sesak dengan kendaraan bermotor. Kebijakan jalur sepeda sebagai wujud kepedulian Pemerintah Daerah pada kelangsungan “kesehatan kota” juga sepertinya bakal hilang seperti hilangnya jalur berwarna biru di atas jalan raya kota kembang ini.

Studi tentang kemacetan lalu lintas mungkin sudah sangat banyak. Berbagai pendekatan dan metode studi serta ribuan sampel yang terlibat untuk menemukan rumusan penyelesaian masalah klasik kota-kota besar di Indonesia ini. Studi tentang pelebaran jaringan jalan, manajemen transportasi, kelayakan jalan layang dan jaringan jalan tol dalam kota hingga pada alternatif jenis moda transportasi dilakukan namun sampai hari ini Bandung tetap saja macet.

Penulis kemudian berpikir (sebenarnya hal ini kepikiran ketika melihat lapangan parkir ITB yang lengang karena masih masa liburan semester) bahwa ada juga pendekatan lain yang bisa dilakukan untuk membantu mengurangi masalah kemacetan di Kota Bandung. Pendekatan ini adalah pendekatan perilaku berkendaraan. Bukan pendekatan baru karena penulis yakin bahwa pendekatan ini juga telah sering digunakan untuk studi transportasi di Indonesia, mungkin termasuk Bandung (tidak bisa berkata yakin karena belum pernah baca).

Untuk kali ini, penulis coba menghubungkan antara perilaku berkendaraan dengan pengurangan jumlah kendaraan yang beredar tentunya. Karena sebagian besar “penghuni” jalan raya itu kendaraan bermotor (jika tidak mengikutsertakan pedagang kaki lima yang memenuhi badan jalan di beberapa lokasi Kota Bandung), maka kenapa tidak melakukan pengurangan jumlahnya dan “memaksa” si pengguna kendaraan bermotor sedikit mengalah dan memilih menggunakan moda transportasi umum.

Lalu di mana penelitiannya?

Nah, sebenarnya penelitian ini bertujuan menemukan seberapa besar potensi tingkat partisipasi masyarakat golongan berpendidikan dalam upaya pengurangan masalah transportasi kota tempat mereka tinggal (dalam hal ini Bandung).

Target groupnya siapa? Hmmm… mungkin sudah banyak yang menebak kalo baca dari atas.

Benerrr… Target surveinya ya mahasiswa, dosen dan para pegawai yang beraktivitas di ITB. Kebetulan aja kan karena penulis juga sedang beraktivitas di situ (hanya saja ga pake kendaraan pribadi).

Lebih khusus tentang target survei tentunya para penghuni ITB yang menggunakan kendaraan bermotor pribadi (yang pake sepeda ga ikutan disurvei).

Lalu yang ditanya apa? Nah, kira-kira sebagai berikut nih pertanyaan surveinya.

  1. Apakah Saudara menggunakan kendaraan pribadi? (jawabannya harus ya. Kalo tidak tandanya nanya ke orang yang salah)
  2. Jenis kendaraan pribadi Saudara? (pilihannya kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat. Tapi kalo ternyata ada yang pake roda tiga atau roda delapan ya silakan aja sih ditambahkan)
  3. Lokasi rumah Saudara di Kecamatan dan Kelurahan mana? (kalo perlu sampai ke RT/RW. Ga usah sampai alamat lengkap kecuali sekalian mau kenalan jadi nanti ga nanya lagi kalo mau berkunjung)
  4. Jika ITB mengeluarkan kebijakan untuk ikut berperan aktif dalam upaya pengurangan kemacetan di Kota Bandung (mungkin sekaligus mengurangi polusi udara karena asap buangan kendaraan bermotor), apakah Anda bersedia ikut berperan aktif? (Pilihannya ya atau tidak. Tapi kalo ragu-ragu, juga ga apa-apa. Tandanya si responden pinter juga karena ga mau beli kucing dalam karung. Lha kan belum tau bentuk peran aktifnya seperti apa.)
  5. Jika kebijakan itu berkenaan dengan penggunaan kendaran pribadi ke kampus, apakah Saudara bersedia ikut berperan aktif? (ga perlu disebutin lagi pilihan jawabannya)
  6. Jika jawaban nomor 5 adalah Ya, seberapa besar Saudara bersedia tidak menggunakan kendaraan pribadi ke kampus? (Jawabannya bisa variasi nih, tergantung peneliti. Hehehe. Namun disini penulis coba buat beberapa pilihan, yaitu (1) berhenti menggunakan kendaraan pribadi ke kampus; (2) bersedia mengurangi penggunaan kendaraan pribadi hingga 50% - artinya jika si responden itu beraktivitas di kampus 5 hari kerja, maka minimal ybs bersedia ga bawa kendaraan bermotor ke kampus selama 2 hari); (3) bersedia hanya mengurangi sebanyak 1 hari dalam seminggu, apapun aktivitasnya di kampus).

jawaban untuk pertanyaan 5 dan 6 bisa dihubungkan dengan pertanyaan tentang alamat rumah. Karena jika rumah si responden jauh di pinggir kota, mungkin pilihan minimal yang akan diambil karena kalo naik transpotasi umum bisa ngabisin waktu yang ga sedikit (padahal sering telat bangun dan dapet jadwal kuliah lagi sepanjang minggu).

Nah, dengan pertanyaan seperti diatas seharusnya bakal ditemukan tuh berapa persen penghuni ITB yang bersedia berpartisipasi aktif dalam upaya pengurangan masalah kemacetan Bandung. Tapi sebenarnya sih kalo mau serius, masih banyak tuh pertanyaan yang harus diajukan. Tapi untuk hasil pemikiran yang tiba-tiba rasanya lumayanlah. Bisa juga dijadikan ajang pemanasan untuk survey yang lebih dalam. Dan bagusnya penelitian survey ini bisa diberlakukan ke berbagai instansi dan lembaga. Coba deh kalo dilakukan ke seluruh Perguruan Tinggi yang ada di Bandung, khususnya yang terletak di kawasan rawan macet. Kira-kira hasilnya bagaimana ya?

Eh kalo ternyata sudah ada yang bikin studi ini tolong dong share hasil penelitiannya...