Halaman Depan

Minggu, 30 Januari 2011

Tantangan Pak Menteri untuk ITB

Hari Sabtu lalu (29 Januari 2011), saya mengikuti kuliah umum yang diadakan ITB. Yah.. karena status saya masih mahasiswa di institusi pendidikan ini, maka kehadiran saya sebenarnya merupakan suatu keharusan (begitu yang tertulis di papan pengumuman depan ruangan tata usaha :p)..


Namun diluar kewajiban, saya memang penasaran ingin datang. Terlebih karena tema yang diambil adalah perumahan. Judul yang tersebut adalah “Pengurangan Kemiskinan sebagai Ideologi Pembangunan”. Judul yang makin menarik rasa penasaran saya.. apakah ini hanya merupakan slogan atau ada maksud yang lebih serius.


Lalu saya datang dan duduk menunggu kuliah umum dimulai. Seperti yang dijanjikan, yang menyajikan materi adalah Menteri Perumahan Rakyat, Suharso Monoarfa (jangan tanya saya apa gelarnya ya)..
Ketika melihat orangnya untuk pertama kali (asli saya belum kenal dengan menteri ini, terserah mau dibilang katrok atau apatis), saya lihat orangnya cukup menarik. Dalam artian tidak terlihat aura “pejabat tinggi”, namun bisa saja kan kesan pertama salah


Lalu kuliah dimulai dan Pak Menteri membeberkan materi yang telah disiapkannya.. Dua layar besar yang berfungsi sebagai alat bantu presentasi ternyata tidak berguna banyak. Selain memang kualitas gambarnya yang relatif menyedihkan (tolong nih bagi panitia, supaya lain waktu ada perbaikan), ternyata pak menteri kemudian lebih banyak berimprovisasi dalam menyampaikan kuliah daripada sekedar mengikuti alur bahan presentasi yang telah tersedia. Hasilnya?? Jauh lebih segar karena perhatian mahasiswa lebih tertuju kepada pak menteri dari pada layar kabur di kanan kiri panggung kecil di depan sana.. dan ini sesuai keinginan pak menteri (beliau sendiri yang berkata begitu).


Lalu apa isinya?


Diawali dengan fenomena urbanisasi di dunia dan mencontohkan kondisi di China dan India (beliau mengambil data-data dari majalah yang memang selalu menampilkan ulasan-ulasan bagus tentang kejadian di dunia), beliau kemudian mengeluarkan tantangan kepada ITB secara institusi dan kepada mahasiswa ITB juga tentunya.


Beliau menekankan bahwa masyarakat golongan berpendapatan menengah ke bawah adalah fokus pemerintah dalam penyediaan perumahan dan seharusnya menjadi perhatian berbagai pihak juga. Menjelaskan mengenai sisi permintaan dan penerimaan, beliau memancing tanggapan ITB tentang konsep permukiman-perumahan sesuai dengan karakter kota atau bagian kota tempat penduduk berada. Dengan demikian penduduk dapat berkarya lebih maksimal karena didukung oleh lingkungan yang sesuai dengan aktivitas dan budaya mereka..


Menurut saya itu sangat menarik. Bukan ide baru memang tapi memang sangat penting untuk kembali diangkat menjadi isu utama. Slogan pemberantasan kemiskinan tidak cukup dengan memberikan sejumlah uang kepada masyarakat yang berpendapatan rendah, namun memastikan mereka memiliki semangat untuk berusaha mendapatkan pendapatan dan penghidupan yang layak. Dan mengingat pernyataan seorang bijak (jangan tanya siapa orangnya karena saya tidak ingat) bahwa sebuah negara dimulai dari sebuah rumah, maka sangat logis jika penduduk perkotaan harus didukung oleh lingkungan permukiman perkotaan yang mendukung keberadaan mereka. Jika mereka pengrajin, alangkah baiknya jika ada kampung pengrajin. Jika mereka pegawai, ada bagusnya ada kawasan perumahan pegawai. Tentu saja tidak berarti membuat segregasi permukiman sesuai profesi. Teknisnya tentu dapat divariasikan sesuai dengan kondisi lapangan. Tapi yang utama, lingkungan permukiman itu harus lolos standar kelayakan rumah tinggal.


Nah, lalu apa tanggapan mahasiswa yang hadir?


Ternyata sangat menarik. Beberapa ide, kritik dan saran yang muncul saya rasa sangat segar dan dapat diangkat menjadi konsep-konsep yang lebih lengkap dan serius. Apa saja ide itu? Duh.. coba deh cari tahu ke itb ya. Karena seharusnya dalam waktu 1 minggu, harus ada laporan yang diserahkan mahasiswa (khususnya s1) mengenai tanggapan mereka tentang kuliah umum.


Nah.. lalu apa nih pelajarannya?


Menurut saya, urusan permukiman-perumahan tidak hanya urusan pemerintah tapi juga urusan kita semua sebagai penghuni kota. Jangan takut untuk salah tapi tetaplah berusaha ikut serta dalam penciptaan lingkungan permukiman perkotaan yang sehat, layak dan meningkatkan “semangat hidup” penghuninya.. Kita tidak perlu jadi walikota untuk ikut berbuat. Dimulai dari hal kecil, dimulai dari diri sendiri dan dimulai sejak sekarang , begitu kutip pak menteri dari seorang kia’I kondang yang sekarang tak lagi sekondang dulu :D

3 komentar:

aridhaprassetya mengatakan...

Hai vitria ! Tulisan kamu bagus, komunikatif. Saya suka membacanya. Tetapi saya masih bertanya-tanys soal pak Menteri yang tidak punya konsep.

kali aja dia juga bingung, mau dikonsep kayak apa, orang lahan sudah ngga ada.

di desa saya, orang hanya punya satu rumah, dan itu bisa jadi dihuni oleh lebih dari satu keluarga.

tanah mereka rata-rata udah dibeli sama mereka yang punya dhuwit, malah lurahnya sendiri "membantu" menjual tanah kavlingan.

jadi gimana dong? Konsep seperti apa? Konsep rumahnya sih barangkali banyak. tapi konsep daya belinya itu lho...he...

salam kenal, makasih udah follow papanputih.com.
btw, saya bahagia bisa kenal anda. saya suka blog anda...but bagaimana to follow ya?

salam bahagia.

aridhaprassetya mengatakan...

ralat:

saya bilang pak Menteri tidak punya konsep, karena pake (alasan) menanantang ITB dan mahasiswa segala...he...sorry lho pak Menteri!

Unknown mengatakan...

terima kasih kunjungan dan komentarnya, bu (manggilnya bagaimana ya?)

memang sih, sering kali banyak dari kita (termasuk saya dan pak menteri nih) kadang malah kepenuhan ide tapi bingung mulainya dari mana. uang dan bagaimana cara membeli tanah menjadi masalah besar bagi banyak masyarakat.

tapi ada koq solusinya. dan ini sering dibicarakan di dunia akademis dan juga praktisi (saya pns di pekanbaru). Saya tidak tahu apakah di desa tempat tinggal ibu sudah ada kelompok yang menangani ini. Mudah2an ada ya.. Dan lurah yang malah "menjualkan" lahan warga harus diberi penataran lagi tuh bu. hehehe..

soal follow, saya juga belum begitu paham, hehehe.. maklum masih baru belajar.. tapi sepertinya saya sudah masukkan follow di bagian bawah blog..

Semoga jadi sering tukar pikiran ya bu.

Salam hangat